Hati-hati Teror di Bandara Solo.....
Pada hari Jumat, 16 Februari, saya dan istri baru saja kembali dari Jakarta dengan penerbangan berbeda dan landing di Adi Soemarmo, Solo. Sekitar pukul 19.30 kami tiba di bandara yang katanya Internasional ini.
Begitu mendarat kami pun mencoba memesan aplikasi taksi online dari dalam bandara. Order pertama kami gagal karena ternyata sopir online yang kami order tidak berani mengambil pesanan di bandara. Kata sopir yang bersangkutan, tidak boleh mengambil penumpang online di dalam bandara.
Kami pun mencoba kembali order taksi online di luar pintu bandara, tepat di samping jalan raya. Meski ordernya diterima, tetapi lagi-lagi sopir online yang kami pesan tidak berani juga mengambil orderan meski berada di luar bandara.
Tak patah arang, kami pun akhirnya order taksi konvensional. Anehnya mereka mau menjemput dengan syarat, kami berdua, saya dan istri kembali ke dalam bandara. Karena kalau di luar bandara mereka tidak berani. Hello.. Kami pun terpaksa membatalkan, karena malas apabila harus kembali berjalan kaki dan masuk ke bandara yang jaraknya lumayan. Yang pernah singgah di Adi Soemarmo pasti mengetahui jarak dari pintu masuk bandara ke dalam bandara sendiri.
Awal keganjilan pun mulai terlihat ketika kami berada di luar pintu bandara untuk menunggu jemputan. Sejumah pria dewasa terlihat mengawasi gerak-gerik kami, bak maling saja sepertinya, hadeeh... Bahkan terlihat 3 orang pria dengan satu sepeda motor mendekati dan mengobrol dibelakang kami dengan gerak-gerik mengawasi.
Karena risih dan merasa janggal, kami pun berjalan kembali menjauh dari bandara meskipun waktu itu jalan depan bandara tengah banjir. Saya dan istri pun harus berjalan di tengah jalan untuk menghindari genangan. Kami berjalan menjauh dari bandara dan menuju pemukiman.
Di perempatan mangu, daerah Boyolali, masih di seputaran daerah bandara, lagi2 kami melihat ada dua pria berbeda dengan pakaian cokelat-cokelat keki mengawasi dari atas motornya di kegelapan dekat lampu merah...byuh byuh bak target operasi korupsi kami ini...
Sadar bahwa kami dikuntit, maka kami pun tetap memutuskan untuk memesan taksi online sembari singgah di sebuah minimarket, Mangu, Boyolali. Pikiran kami, jarak bandara dengan minimarket cukup jauh sehingga dalam pikiran kami, seharusnya tidak lagi ditolak order kami.
Namun, apa yang terjadi lagi-lagi order kami ditolak sang sopir karena masih berada di sekitar bandara. Padahal jarak kami dengan bandara sudah cukup jauh. Selan beberapa waktu, datang sebuah mobil dan pemiliknya yang hendak membeli rokok atau minuman, kami tidak memperhatikan.
Dari perbincangan singkat, diketahui bahwa pemilik mobil mas-mas tersebut juga merupakan driver taksi online. Karena sudah malam dan tidak ada taksi lokal juga yang berani mengambil kami di daerah bandara, kami pun meminta tolong mas tsb untuk mengantar kami...pun kami tidak berbicara harga disana...mas tsb memang sempat mengecek harga di online...
Tanpa panjang lebar, kami pun, bertiga saya istri dan masnya tadi (sayangnya saya lupa bertanya namanya) langsung menuju mobil dan hendak meluncur ke rumah di Sukoharjo.
Baru memasuki mobil, kecurigaan kami terbukti benar. Datang dua orang pria berbaju cokelat mendatangi mobil yang kami tumpangi. Dengan sedikit beringas, mereka langsung menggedor pintu kaca mobil.
Tanpa ba bi bu, pria berbadan cokelat tadi bak polisi langsung menuduh dan arogan mendatangi kami sepeti maling. "Taksi online tidak boleh mengambil penumpang di sini." katanya dengan kasar. Hello...ini bukan di bandara bapak, ini di area umum, di pinggir jalan.
Saat itu, pria berbadan cokelat tadi mengaku dari petugas bandara. Meski sudah menjelaskan bahwa kami tidak memesan aplikasi taksi online, mereka ngotot tidak mengizinkan kami menumpangi mobil tersebut.
Akhirnya si oknum petugas tadi memaksa masnya driver yang kami tumpangi ke pos yang dia bilang kantor bandara. Sewaktu saya menjelaskan bahwa kami tidak memesan online, pria berbaju cokelat dan mengaku sebagai petugas tadi tidak menggubris dan terus memaksa dijelaskan di kantor saja.
Sewaktu saya menanyakan aturan, oknum petugas tadi hanya menjawab online tidak boleh mengambil penumpang di bandara. Meski sudah berargumentasi petugas tetap memaksa driver tadi ke pos. Saya pun melihat kesegala arah, tempat kami digedor-gedor tadi tidak ada papan atau tulisan larangan mengambil penumpang.
Karena khawatir terjadi sesuatu, saya dan istri menemani masnya driver tadi. Kami pun berempat, saya, istri, masnya driver dan oknum pria berbadan cokelat yang mengaku petugas tadi menuju pos yang diminta.
Tidak begitu lama, kami berempat dari sebuah minimarket Mangu, Boyolali menuju tempat yang dimaksud. Begitu sampai, kami diminta untuk turun. Masnya driver langsung ditemui seorang pria berbaju putih dg memakai ID Card yang saat itu tidak begitu jelas.
Keanehan demi keanehan pun terlihat. Masnya driver yang kami tumpangi tiba-tiba dibawa mojok di samping sebuah bangunan dengan cahaya kurang memadai. Saya pun teriak, "Pak kalau mau ngobrol ke depan saja, di sini lebih terang. Kenapa harus mojok di belakang," kata Saya.
Teriakan pertama tak digubris. Baru setelah saya meminta lagi, pria berbaju putih itu langsung mengiyakan berpindah lokasi di samping mobil yang terparkir.
Waktu itu, kami bertiga langsung dikerumuni setidaknya lima orang dari segala penjuru, depan, belakang. 4 pria berbaju cokelat2 dan seorang berbaju putih dengan menggunakan ID Card.
Sementara petugas berbaju putih tadi mengecek pesanan masnya dari handphone (ini untuk mengecek ada tidaknya orderan online), saya ditemui oleh seorang oknum petugas lagi. Tanpa memperkenalkan diri, dia menjelaskan kami bahwa di area itu (tempat awal kami ketemu driver di minimarket Mangu Boyolali) tidak diperbolehkan memesan taksi online.
Saya dan si oknum tadi pun berdebat. Saya jelaskan bahwa saya tidak memesan aplikasi online. Dan di area minimarket tidak ada aturan tertulis dan tertempel tentang larangan pemesanan taksi online.
Mereka sepertinya tidak terima. Karena badan yang sudah capai dan terus diajak berdebat tanpa ada kejelasan. Saya pun meminta kejelasan kita ini mau diapakan.
Karena terus ditekankan tidak boleh order taksi online, insting wartawan saya pun keluar. Saya ambil hp dan rekam omongan si petugas yang berdebat tersebut. Saya tanya aturan tertulis, dia jawab semua pengemudi online sudah tahu. Saya minta ditunjukkan larangan pemesanan di minimarket Mangu Boyolali dia hanya jawab di sekitar bandara tidak boleh.
Waktu saya jelaskan saya dan istri tidak memesan aplikasi online, mereka ngeyel, padahal buktinya jelas kami tidak memesan dan kami pun bersedia di-cek hp kami. Karena terus berdekat, intonasi suara pun semakin meninggi, dan mereka tidak terima saya rekam.
Istri saya pun sudah stress dengan kejadian ini. Akhirnya rekaman tadi saya hapus dan berharap agar semuanya segera kelar. Namun apa yang terjadi, kami terus dikeroyok bak kecebong. Satu sama lain saling menimpali, petugas satu dengan petugas lainnya terus mendesak kami.
Akhirnya istri saya meminta menyudahi. Di terakhir kalinya, meski mengaku sebagai petugas, kelimanya tidak ada yang memperkenalkan diri, baik hanya sekedar nama dan instansinya.
Mungkin nasib kami lebih mujur daripada maling yang masih diminta duduk dan diperiksa. Kami hanya dibiarkan berdiri di samping sebuah bangunan dengan intimidasi gak boleh pesan taksi online.
Ketegangan pun semakin memuncak dan sejumlah orang berdatangan. Ada yang terlihat warga biasa, namun ada juga yang memakai seragam batik entah dari mana.
Mereka bahkan rame2 teriak menantang. Saya pun tersulut dan kembali berdebat, panas darah ini rasanya. Namun istri saya berteriak meminta menyudahi. Saya dan istri akhirnya menjauh dan meninggalkan si driver yang entah bagaimana nasibnya saat ini.
Karena terbiasa liputan di lapangan, sekurus kemudian, saya pun mengeluarkan hp dan hendak memotret sebuah bangunan tempat kami tadi dibawa. Belum sempat memotret semua teriak2 dan mengajak rame dan bahkan ada yang menantang duel dari belakang.
Karena dikerumuni banyak orang, saya pun mengurungkan niat dan terus ditarik2 istri agar menjauhi kerumunan. Waktu kami berjalan menjauhi kerumunan, bak seperti diundang satu per satu taksi putih,seperti taksi bandara mendatangi bangunan tempat kami dibawa.
Namun saya dan istri pun cuek, bahkan sewaktu ada sebuah taksi yang memprovokasi kami dengan suara kencang sewaktu melintasi kami dari belakang.
Saya dan istri pun memutuskan berjalan dari tempat semula kami diinterogasi dari bangunan tadi menuju perempatan colomadu. Cukup jauh, memang. Di sepanjang perjalanan, kami pun masih diawasi dengan sejumlah taksi. Mereka terlihat di sejumlah titik. Mata2 mereka mengawasi kami berdua yang berjalan long march. Itu terlihat jelas dari tatapan mereka sewaktu kami melintas.
Di perjalanan, saya dan istri terus membahasnya. Namun yang kami lupa bagaimana nasib si drivernya tadi. Kami pun hanya berharap semoga masnya tidak bengep di depan oknum petugas yang entah dari mana itu dan seperti emosi ingin menghajar orang.
SEBUAH pengalaman hidup yang tidak akan saya lupakan. Betapa arogannya mereka, membawa kami secara paksa tanpa menunjukkan identitas dan berkoar2 soal aturan yang tidak jelas.
Pesan saya, hati-hati kalau di Bandara Adi Soemarmo Solo dan memesan taksi online. Mereka tidak menyadari bahwa jodoh, rejeki dan umur itu sudah ada yang mengatur. Kalau memang ada aturan tertulis silahkan disosialisasikan dan diberikan kejelasan... Kalau perlu dan itu jelas dan resmi dibuat saja plank tertulis soal aturan2 tersebut.
Akhir kata, kami pun jalan hingga perempatan Colomadu yang jaraknya lumayan jauh dan memesan taksi lokal via telepon.
Sukoharjo 16 Februari 2018, pukul 22.37 WIB
(tulisan panjang ini saya buat sewaktu perjalanan menumpang sebuah taksi konvensional karena kami terus dikuntit)
this is true story
Sari Hardiyanto
Repost link https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10210909219667500&id=1263015443
Loading...