Rudi Taran (lahir di Piru, Seram Bagian Barat, Maluku, 6 Juni 1937; umur 79 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Rudi "Tarantula" Taran, adalah seorang Purnawirawan perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU). Ia merupakan Penerbang tempur legendaris yang pernah dimikili TNI Angkatan Udara. Rudi merupakan Komandan Wing 300 Buru Sergap Kohanudnas Terakhir.[1] Jabatan terakhir yang diembannya adalah Kepala Dinas Komunikasi dan Elektronika TNI AU.
Pada masa kecilnya, Rudi memiliki nama panggilan "Rudi Tjong". Tahun 1958 adalah tahun paling berkesan bagi dirinya yang saat itu sudah kelas II di SMA. Sebuah saat yang nantinya mengubah jalan hidupnya menjadi penerbang tempur. Pada masa itu, Ambon sedang dilanda banyak kerusuhan akibat pemberontakan PERMESTA. AURI mengirimkan pesawat-pesawat P-51 Mustang untuk ikut dalam operasi penumpasan pemberontakan tersebut. Saat pesawat-pesawat tersebut mendarat di Kota Ambon, maka beramai-ramailah orang menonton pesawat tersebut. “Wah, huebat bisa terbang” begitu kira-kira komentar Rudi muda yang saat itu ikut berdesak-desakan menonton. Sejak saat itu, tekadnya bulat untuk menjadi penerbang tempur.
Karier Militer
Setelah lulus SMA pada tahun 1959, Rudi dengan 4 orang temannya berangkat ke Jawa dengan kapal bermaksud mengikuti ujian masuk Sekolah Penerbang AURI. Pada tanggal 4 Januari 1960, para pendaftar pun dikumpulkan di Jalan Budi Kemuliaan No.11, yang waktu itu berdiri RS Kebidanan. Dari lima orang tersebut, hanya Rudi yang lolos seleksi penerbang. Satu orang lulus ke sekolah navigator, dan yang lain gagal. Rudi dengan 75 calon siswa penerbang lainnya dikirim ke Margahayu, Bandung untuk mendapatkan pendidikan dasar kemiliteran selama 10 bulan. Selesai latihan tersebut, mereka dikirim ke Yogyakarta. Di sana, mereka langsung dibagi menjadi 2 kelompok. 55 siswa, di antaranya Rudi, masuk ke dalam Angkatan Cakra III yang akan belajar di Cekoslovakia, dan 20 siswa lainnya akan masuk Sekolah Penerbang AURI di Maguwo, Yogyakarta.
Para siswa Cakra III ini pada awalnya dididik di kota Trencin. Mereka menggunakan pesawat Z-126 untuk tingkat mula, dan Yak-11 untuk tingkat dasar. Sedangkan tingkat lanjut, mereka harus pindah ke Kota Pzerov dengan pesawat Mig-15 UTI. Karena kebutuhan Operasi Trikora, maka penerbang yang cepat menguasai pelajaran lebih cepat pulang ke Indonesia. Mereka adalah Firman Tirtokusumo, Zainudin Zikado, JJ Usmani, M. Syafii, Beni Yoseph, Isbandi Gondosuwignyo, Dibyo Purwodirodjo, Basri Hamid, Jan Ratulangi, Tasrikin, Immanuel Sudarmadi, Wofkar Usmani, dan Rudi Taran.
Dalam sejarah pendidikan konversi di pesawat F-5 TNI AU, Rudi Taran merupakan siswa tertua. Ia mulai belajar terbang dengan F-5 ketika sudah berpangkat Kolonel (Pnb). Walaupun Skadron Udara 14 sebenarnya tidak kekurangan penerbang, Rudi Taran yang kala itu menjabat sebagai Komandan Wing 300 Kohanudnas terpanggil untuk belajar terbang dengan pesawat F-5 demi merasakan perjuangan para anak buahnya. Mantan Penerbang MiG-21 Fishbed dan pelaku operasi “Ganyang Malaysia” ini akhirnya berhasil terbang solo dan menyandang Eagle 08 dengan nickname “Tarantula”. Rudi Taran yang terakhir berpangkat Marsekal Muda (Marsda) juga merupakan keturunan Tionghoa pertama yang berhasil menjadi penerbang jet tempur Indonesia.
kiriman Candra Jap
===
Ad 3
Credits post https://m.facebook.com/TiongHoa.Indonesia/photos/a.102883682257/10155179063652258/?type=3
Loading...