NURWAHYUNI
Di hari berbahagia itu ia sendirian.
Hari wisuda yang ceria. Wajah-wajah bagai kuntum mekar. Bau harum menyebar di sekitar. Tak terbayangkan hari itu, 21 September lalu, seorang wisudawan duduk merenung.
Perasaan sedih menggumpal saat melihat teman-temannya berfoto bersama keluarga.
Ia hanya bisa melihat mereka dengan takjub. Bersyukurlah mereka yang masih punya orang tua; ikut berbahagia bersama anaknya. "Mestinya hari itu aku bersama orang tua seperti mereka. Namun apa dayaku...", tulisnya di akun instagram.
Perempuan itu tersedak. Ia berusaha tersenyum namun air mata tak terbendung. Dari lokasi wisuda ia pulang menuju kesendirian; ke ceruk kuburan tempat orang tuanya dimakamkan. Hanya ia sendiri dan bunyi gesekan daun yang terdengar dari kejauhan.
Sebuah pertemuan tak tepermanai, pertemuan dengan kedua orang tuanya yang telah tiada. Ia bersimpuh: "Terima kasih almarhum bapak dan almarhumah ibu. Saya bangga menjadi anak kalian, aku membuktikan anak perempuanmu ini kuat". Ia duduk dan menatap makam orang tuanya dengan keyakinan ia tak bakal hidup sia-sia.
Nurwahyuni lahir 21 Mei 1997 di desa Lempangan, Kabupaten Goa, Sulawesi Selatan. Sejak usia SD telah ia kehilangan ayah (Cole Dg Mangung) yang meninggal tahun 2005 dalam suatu kecelakaan. Duduk di kelas 2 SMK ia kehilangan ibu (Farida Dg Rannu) yang meninggal mendadak tahun 2014 lalu. Mereka mewariskan 2 anak: Yuni, begitu Nurwahyuni dipanggil, dan kakaknya. Keduanya hidup di desa di rumah neneknya.
Sejak ditinggal ayahnya Yuni mulai bekerja untuk biaya sekolah, juga membantu keluarga. Ditengah segala kekurangan tekat sekolahnya tak pernah kendor. Lulus SMK problem keuangan langsung menghadang. Untuk kuliah butuh biaya besar. Tapi niatnya sudah bulat: harus kuliah apa pun tantangannya. Dengan bekal itu ia mendaftar di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin, Makassar.
Ketika tahu uang SPP sebesar Rp1.100.000 ia berniat atret, mundur. Uang simpanannya hanya Rp500 ribu. Hari itu hari terakhir pembayaran SPP. Tengah suntuk berpikir uang tambahan keajaiban datang. "Selalu ada orang baik di sekitar kita yang mau membantu," tulis Yuni.
Untuk biaya kuliah ia bekerja menjual kardus-kardus bekas. Pulang kuliah ia mencari barang packaging itu ditoko-toko dan menjualnya kepada pengepul. Hampir tiap hari ia pulang malam hari.
Pernah keluarganya menyarankan ia menikah untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Tapi ia menolak. Ia memilih jalannya sendiri dengan keyakinan tak tergoyahkan. Ia menganggap kuliah sebagai amanah keluarga. Dulu almarhum ayahnya selalu mendorongnya untuk sekolah.
Kelaparan?
Monster ganas itu sama sekali tak mampu menaklukkannya.Tiap kali tak punya uang ia memilih berpuasa.
Hasilnya luar biasa. Nurwahyuni, anak yatim piatu itu, lulus dengan IPK 3,87. Lulusan terbaik ketiga di jurusannya. Sekarang ia bertekat melanjutkan strata 2. Ia optimis karena, "Selalu ada orang baik di sekitar kita yang mau membantu, "seperti pernah dikatakannya.
Loading...